Rencana pemerintah dan Bank
Indonesia untuk menyederhanakan nilai Rupiah sudah di depan mata. Awal tahun
depan, pemerintah akan menghadap jajaran legislatif untuk membahas dasar hukum
penghilangan tiga nol dalam mata uang Rupiah tersebut.
Namun, apakah biaya untuk
menyederhanakan mata uang itu semudah membalikkan telapak tangan? Analis
Danareksa Research Institute Purbaya Yudhi Sadewa secara tegas mengungkapkan
bahwa dia tak sejalan dengan rencana redenominasi itu.
"Tidak perlu
(redenominasi). Saat ini kondisi kita tidak perlu redenominasi," ujar dia.
Persoalan lain yang menjadi
penekanan Purbaya adalah biaya yang tidak sedikit untuk melakukan redenominasi.
Padahal, dari kondisi ekonomi dan moneter Tanah Air, penyederhanaan itu masih
belum mendesak.
Purbaya mengungkapkan, biaya
penyederhanaan itu bisa mencapai triliunan Rupiah. Bahkan, dia menyebutkan,
lebih dari Rp 5 triliun hanya untuk mencetak uang jenis baru tersebut. Menurut
data Bank Indonesia, setiap tahunnya bank sentral selalu menerbitkan 6 miliar
lembar uang untuk mengganti uang yang lusuh."Untungnya sedikit tapi
risikonya besar," ujar Purbaya.
Untung yang bisa didapat
dari penyederhanaan mata uang Rupiah, menurut Purbaya, hanya meningkatkan
wibawa Indonesia dengan mengurangi nol pada mata uangnya.
Risikonya, lanjut dia, bila
masa transisi yang direncanakan Bank Indonesia tidak berhasil. "Nanti
orang malah akan lari ke dolar. Kepercayaan kepada Rupiah akan semakin hilang.
Jadi risikonya besar juga," kata dia.
Hal yang sama juga
diungkapkan oleh pengamat ekonomi Ahmad Erani Yustika. Dia mengaku,
redenominasi hanya dilakukan oleh negara yang sedang terpuruk.
"Secara teori, negara
yang melakukan redenominasi adalah negara dengan ekonominya yang terpuruk.
Inflasinya mencapai ratusan bahkan ribuan persen. Inflasi tinggi sekali
sehingga membuat nilai tukar mereka jeblok. Sekarang ekonomi kita tidak
terpuruk. Dan ini dikhawatirkan akan timbul dugaan ekonomi kita sedang
merosot," jelas dia.
Turki yang menjadi contoh
redenominasi Indonesia, lanjut Erani, telah mengalami inflasi hingga 70 persen
sehingga harus melakukan pemotongan nol. Namun, hingga saat ini, inflasi
Indonesia masih terkendali di bawah 5 persen dengan pertumbuhan di atas 6
persen.
Dari beberapa tulisan yg saya baca, tidak ada keuntungan yg berarti dalam redenominasi, malahan resiko lebih mengkawatirkan.Keuntungan yg didapat cenderung tdk bisa dikuantitatifkan seperti (penyederhanaan penulisan, perhitungan, dan meningkatkat wibawa..??).Sedangkan kerugiannya spt (hyper)inflasi, dan ketidakpercayaan dlm memegang rupiah, ini lebih lanjut akan menurunkan nilai rupiah itu sendiri..
BalasHapus