Dilarang memakai rok
mini dan atasan yang memperlihatkan bagian perut di Swaziland. Para pelanggar
diancam hukuman berat, dengan US$ 10 atau Rp 97 ribu atau pidana penjara 6
bulan. Alasannya, rok mini bisa "memicu pemerkosaan".
Polisi di Swaziland--monarki absolut terakhir yang konservatif di Afrika, membangkitkan kembali aturan kriminal soal moralitas era kolonial tahun 1889, untuk menghentikan kaum hawa menggunakan pakaian yang mengekspos tubuh.
"Para pelanggar akan ditangkap," kata juru bicara polisi, Wendy Hleta seperti dimuat Daily Mail, Selasa(25/12/2012).
"Tindakan pemerkosaan menjadi lebih mudah, karena korban meniadakan setengah kain yang harusnya mereka gunakan."
Larangan tersebut juga diberlakukan celana jeans yang melorot hingga mempertontonkan pantat, juga tank top. Namun, kostum "indlamu", kostum manik-manik supermini yang hanya menutup bagian bawah, dibolehkan.
Kostum tradisional itu dikenakan saat penari muda menari, bertelanjang dada dengan bagian perut terbuka, di depan Raja Mswati. Di mana raja, yang sudah memiliki 13 istri, bisa menambah jumlah selirnya.
Alasan mengizinkan pakaian itu karena polisi tak punya catatan seorang perempuan diperkosa karena memakai kostum tersebut. Tradisi dan ibu menyusui menjadi perkecualian, yang tak tersentuh hukum kolonial.
Aturan itu sekaligus merespon demo di kota terbesar kedua, Manzini bulan lalu, yang digelar para perempuan muda yang menuntut persamaan hak dan jaminan keamanan.
Di Swaziland, perempuan adalah warga negara kelas dua, sekitar dua per tiga gadis remaja di negeri itu menjadi korban kekerasan seksual. Demikian diungkap South Afrikan Independent Online.
Ini bukan kali pertamanya perempuan jadi obyek aturan. Pada tahun 2000, pemerintah menerapkan UU yang mengharuskan gadis sekolah berusia 10 tahun ke atas untuk memakai rok selutut demi mengekang pergaulan bebas. Sebagai bagian dari upaya untuk menghentikan penyebaran AIDS.
Negara Sub-Sahara ini memiliki lebih dari 1,2 juta orang dengan HIV/AIDS. Salah satu yang tertinggi di dunia.
Polisi di Swaziland--monarki absolut terakhir yang konservatif di Afrika, membangkitkan kembali aturan kriminal soal moralitas era kolonial tahun 1889, untuk menghentikan kaum hawa menggunakan pakaian yang mengekspos tubuh.
"Para pelanggar akan ditangkap," kata juru bicara polisi, Wendy Hleta seperti dimuat Daily Mail, Selasa(25/12/2012).
"Tindakan pemerkosaan menjadi lebih mudah, karena korban meniadakan setengah kain yang harusnya mereka gunakan."
Larangan tersebut juga diberlakukan celana jeans yang melorot hingga mempertontonkan pantat, juga tank top. Namun, kostum "indlamu", kostum manik-manik supermini yang hanya menutup bagian bawah, dibolehkan.
Kostum tradisional itu dikenakan saat penari muda menari, bertelanjang dada dengan bagian perut terbuka, di depan Raja Mswati. Di mana raja, yang sudah memiliki 13 istri, bisa menambah jumlah selirnya.
Alasan mengizinkan pakaian itu karena polisi tak punya catatan seorang perempuan diperkosa karena memakai kostum tersebut. Tradisi dan ibu menyusui menjadi perkecualian, yang tak tersentuh hukum kolonial.
Aturan itu sekaligus merespon demo di kota terbesar kedua, Manzini bulan lalu, yang digelar para perempuan muda yang menuntut persamaan hak dan jaminan keamanan.
Di Swaziland, perempuan adalah warga negara kelas dua, sekitar dua per tiga gadis remaja di negeri itu menjadi korban kekerasan seksual. Demikian diungkap South Afrikan Independent Online.
Ini bukan kali pertamanya perempuan jadi obyek aturan. Pada tahun 2000, pemerintah menerapkan UU yang mengharuskan gadis sekolah berusia 10 tahun ke atas untuk memakai rok selutut demi mengekang pergaulan bebas. Sebagai bagian dari upaya untuk menghentikan penyebaran AIDS.
Negara Sub-Sahara ini memiliki lebih dari 1,2 juta orang dengan HIV/AIDS. Salah satu yang tertinggi di dunia.