Desa Tashiro dikenal di
Jepang sebagai ‘Pulau Kucing’. Namun kini warganya yang kebanyakan sudah lanjut
usia mengharapkan hal lain yakni kedatangan warga baru. Dihuni 100 warga,
rata-rata di atas 70 tahun, komunitas Tashiro mengharap para kucing bisa
menjadi magnet dalam kampanye menarik wisatawan dan pada akhirnya menambah
jumlah penghuni desa.
Kalau dilihat desa ini
seolah begitu damai. Tapi kalau misalnya ada kebakaran, tidak ada yang bisa
menolong kami. Saya berharap banyak anak muda pindah ke sini. Di Tashiro banyak
warga yang mau mengajari mereka cara menangkap ikan,” ungkap Yutaka Hama, 49,
sebagai pimpinan badan promosi wisata Tashiro.
Hama pindah ke Tashiro
beberapa tahun lalu dan kini juga mencari nafkah sebagai pengelola penginapan
dan nelayan. Istrinya, Aiko, sejauh ini merupakan perempuan termuda di desanya
pada usia 37 tahun. Selain Aiko, kebanyakan perempuan Tashiro sudah berusia di
atas 60 tahun.
Tashiro tidak dihuni seekor anjing pun. Selain itu, pemandangan yang biasa terlihat di kota-kota modern di Jepang juga absen. Sebut saja misalnya toko serba ada, lampu lalu lintas sampai anak-anak. Populasi manusia di situ telah menurun sepuluh kali lipat sejak 1960, karena banyak warga pindah ke kota lain.
Namun beberapa tahun lalu,
Tashiro mulai terkenal sebagai ‘Pulau Kucing’. Waktu itu sebuah stasiun
televisi membuat acara tentang Jack the Lop Ear, seekor kucing jantan belang
hitam-putih. Sekarang Jack adalah atraksi utama di kotanya. Gerak-geriknya yang
lamban dibanding kucing lain malah membuat popularitasnya meroket. “Saya begitu
senang bisa melihat Jack. Setelah pensiun, saya mau tinggal di sini saja,”
tutur Shiho Amano, 18, yang menyukai kucing. Amano khusus datang dari Nagoya ke
Tashiro untuk menyaksikan pameran foto yang digelar badan promosi wisata.
Telepon genggamnya sudah penuh oleh foto-foto kucing terkenal itu.
Para nelayan Tashiro sering
memberi ikan kepada para kucing. Kehadiran kucing jadi gampang terdeteksi di
pulau seluas 3,14 kilometer persegi dan terletak 20 kilometer dari pelabuhan
Ishinomaki di utara Jepang itu.
Kapal feri penghubung ke
pulau ini biasanya hanya mengangkut 10-20 penumpang per hari setelah musim
panas. Namun sejak September lalu, jumlah itu meningkat dua kali lipat di hari
biasa dan lebih dari tiga kali lipat pada akhir pecan
“Kami lihat makin banyak
yang datang membawa kamera dan makanan, bukannya alat pancing,” ujar seorang
pegawai kapal feri Ajishima. Ditambahkannya, para turis tetap datang meski
sudah dekat musim dingin.